Selain itu, Cikole merupakan tempat yang
nyaman bagi peristirahatan serta memiliki potensi ekonomi yang cukup
tinggi, khususnya di bidang perkebunan. Oleh karena itu, atas usul para
Pimpinan Bumi Putera, Andries de Wilde yang menjabat administratur pada
masa Gubernur Jenderal Sir Thomas Raffles, pada tanggal 8 Januari 1815
mengubah nama Cikole menjadi Sukabumi berasal dari bahasa Sunda, yaitu
Suka dan bumi.
Menurut keterangan, mengingat udaranya
yang sejuk dan nyaman, mereka yang datang ke daerah ini tidak ingin
pindah lagi, karena suka atau senang bumen-bumen atau bertempat tinggal
di daerah ini. Pada saat itu, daerah Sukabumi dikenal sebagai tempat
peristirahatan bagi para petinggi perkebunan Belanda. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila Belanda mendirikan pusat perkantoran di
Sukabumi untuk mengurus perkebunan yang tersebar di beberapa tempat.
Tempat peristirahatan yang dibangun dalam waktu singkat menjadi tempat
favorit bagi para petinggi perusahaan perkebunan Belanda, kemudian
mengubah tempat peristirahatan itu menjadi hotel.
Sejak tahun 1865, daerah Sukabumi semakin
berkembang dengan pesat, sehingga pada tahun 1914 tercatat penduduk
yang berasal dari Eropa berjumlah 600 orang dan penduduk asli yang
bersuku Sunda dan suku bangsa lainnnya sekitar 14.400 orang. Pada tahun
itu pula, pemerintah Hindia Belanda menjadikan Sukabumi sebagai
Burgerlijk Bestuur dengan status Gemeente dengan alasan bahwa di kota
ini banyak berdiam orang-orang Belanda dan Eropa. Mereka kebanyakan
merupakan para pemilik perkebunan-perkebunan yang berada di daerah
Kabupaten Sukabumi bagian selatan, yang harus mendapatkan pengurusan dan
pelayanan yang istimewa.
Sejak ditetapkannya Sukabumi menjadi
Daerah Otonom pada bulan Mei 1926, maka resmi diangkat “Burgemeester”
yaitu Mr. G.F. Rambonnet. Pada masa inilah dibangun Stasiun Kereta Api,
Mesjid Agung, gereja Kristen Pantekosta; Katolik; Bethel; HKBP Pasundan,
pembangkit listrik Ubrug; centrale (Gardu Induk) Cipoho, Sekolah Polisi
Gubernemen yang berdekatan dengan lembaga pendidikan Islam tradisionil
Gunung Puyuh.
Setelah Mr. G.F. Rambonnet memerintah,
terdapat tiga “Burgemeester” sebagai penggantinya, yaitu Mr. W.M.
Ouwekerk, Mr. A.L.A. van Unen, dan Mr. W.J.Ph. van Waning.