News Update :

Pembangunan Jalur Kereta Api Saketi-Bayah

Tahukah anda jalur KA Saketi-Bayah adalah jalur Death Railway 
yang banyak memakan korban jiwa..?
Jalur Kereta Api Saketi – Bayah pada saat pembangunannya banyak memakan korban ribuan manusia, dengan jumlah korban fantastis yang terdiri dari tawanan perang / Prisoner Of War (POW) Sekutu dan Romusha. Berikut ini adalah beberapa tulisan yang berkaitan dengan Jalur Kereta Api Saketi – Bayah yang fenomenal itu, tulisan yang saya kutip dari beberapa postingan di internet ini, mudah-mudahan menjadi referensi bagi kita semua. Pembangunan jalan kereta api punya arti sangat strategis bagi kelanjutan ekspansi tentara Jepang pada Perang Dunia ke-II, dan dikerjakan dengan Sistim Kerja Paksa (slave labour) Romusha dan tawanan perang / Prisoner Of War (POW
Perihal jalur kereta api maut, sejarah mencatat, Jepang menorehkan kisah kejam di Banten Selatan jalur Saketi – Bayah. Sebelumnya, Jepang sudah membuka jalur kematian dari Thailand ke Burma. Sebuah jalur kereta api yang juga sudah direncanakan oleh pemerintah Inggris, namun karena kondisi alam yang berat maka rencana itu dikesampingkan. Jepanglah yang kemudian mengacak-acak dokumen Belanda dan Inggris dan menemukan rencana jalur tersebut untuk kemudian mewujudkannya melalui tangan, darah, dan nyawa para Romusha yang tak hanya terdiri atas bangsa Indonesia tapi juga Australia, Inggris, Amerika, dan Belanda.
Jadi selama Perang Dunia II (1938-1945) Jepang membangun tiga jalur kereta api di dua wilayah di Asia Tenggara yaitu jalur Thailand-Burma, Muaro Sijunjung-Pekanbaru, dan jalur Saketi-Bayah. Jepang menggunakan tahanan yang dipaksa kerja dan seperti dikirim ke neraka karena puluhan ribu jiwa melayang dalam proyek pembangunan jalur kereta api tersebut. Jalur kereta api di dua wilayah Indonesia itu tak lagi bersisa, seperti juga tragedi kekejaman Jepang yang seakan terlupakan.
Jalur Saketi – Bayah (Death Railway) pembangunannya dilaksanakan pada tahun 1942-1945. Pembangunan jalan KA Saketi-Bayah juga merupakan bagian dari strategi perang Jepang bertujuan ganda : pertama mengangkut batu bara dari tambang batu bara Cikotok yang merupakan bahan bakar kereta api dan kapal zaman itu, kedua guna menghindarkan angkutan laut yang sudah mulai terancam oleh serangan torpedo kapal selam sekutu. Pembangunannya juga dilakukan dengan menggunakan tenaga romusha tanpa POW, tapi melibatkan sejumlah tenaga ahli perkereta apian Belanda yang menjadi tawanan perang Jepang.
Pekerjaan penambangan batu bara inipun dikerjakan dengan penggunaan tenaga romusha. Bantalan kayu dan rel untuk pembangunan jalan KA ini diambil dari seluruh Jawa, sebagaimana halnya juga dengan tenaga romusha yang kebanyakan berasal dari Jawa Tengah, seperti dari Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain. Pembangunan jalan kereta api sepanjang 89 km ini menelan korban yang diperkirakan mencapai 93.000 jiwa romusha.
Bayah yang sibuk dengan aktivitas pembuatan jalan kereta api dan penambangan batu bara inilah yang juga terkait dengan cerita seputar Tan Malaka. Diceritakan bahwa dikota kecil Bayah inilah Tan Malaka pernah menetap. Kota yang merupakan tempat yang aman bagi persembunyian Tan Malaka, dan tempat yang cukup tenang guna meneruskan aktivitasnya menuliskan buah-buah pemikirannya tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Walau kisah sejarah ini sangat mencekam dilihat dari korban jiwa romusha yang fantastis itu, ternyata saat ini jejak-jejak sejarah itu sudah hampir-hampir lenyap. Masyarakat banyak yang hanya pernah mendengar kisah ini dan hampir semuanya sekarang bersikap acuh tak acuh. Tempat-tempat yang dulu dikenal sebagai sumur romusha, stasiun Kereta Api, goa-goa bekas penambangan batu bara, semua sudah sulit ditemukan. Rel-rel untuk angkutan batu bara sudah habis diangkut tukang besi untuk dijual.
Satu-satunya apresiasi yang pernah diberikan terhadap para korban ini adalah kehadiran sebuah monumen berupa tonggak setinggi 3 meter, yang terletak di sebelah SLTPN 1. Tugu yang dikhabarkan dibangun oleh Tan Malaka ini berada dalam kondisi tidak terawat dan terkesan diabaikan. Berikut ini adalah beberapa kisah seputar jalan kereta api maut Saketi-Bayah yang diambil dari sejumlah posting di internet :
Jalur Banten Selatan Saketi – Bayah (Jan de Bruin)
Stasiun Kereta Api Saketi
Setelah tahun 1943, kesulitan hubungan laut (akibat kegiatan kapal selam Sekutu) menimbulkan masalah bahan bakar di Jawa. Sebelum perang, sebagian besar lokomotif menggunakan bahan bakar batu bara, dan sebagiannya kayu jati. Produksi kayu per tahun adalah sekitar 300 ribu ton, sebagian besarnya dari Dinas Kehutanan (Boschwezen = Perhutani). Untuk kepentingan perusahaan kereta api, diperlukan 900 ribu ton kayu bakar per tahunnya. Maka, sejak tahun 1942, Jepang memiliki gagasan untuk memanfaatkan batu bara muda di sekitar Bayah sebagai bahan bakar.
Jepang mendapatkan sebuah laporan dari sekitar tahun 1900 bahwa cadangan batu bara muda di Bayah mencapai 20-30 juta ton. Jepang memperkirakan bahwa produksi batu bara pertahun mungkin mencapai 300 ribu ton. Namun cadangan batu bara tersebut tersebar di lahan yang luas dan terisolasi. Lapisan batu bara itu juga tipis, hanya sekitar 80 cm, sehingga eksploitasi besar-besaran pada masa damai tidak akan ekonomis. Namun ini adalah masa perang.
Untuk bisa mengeksploitasi tambang-tambang itu, dibangun jalur sepanjang 89 km dari Saketi (sebuah stasiun di jalur Rangkasbitung-Labuan) ke Bayah, di selatan Banten. Rencana jalur mulai dirancang pada bulan Juli 1942, dan pembangunan dimulai awal tahun 1943. Bantalan kayu dan rel dikirim dari seluruh Jawa ke Saketi. Sejak awal tahun 1943 banyak pakar perkeretaapian Belanda dipaksa untuk menyumbangkan keahlian dan pengetahuan mereka untuk pembangunan jalur ini.
Seperti juga di Sumatera, kerja terberat dalam pembangunan jalur ini dilakukan oleh para Romusha. Banyak dari mereka menjadi korban karena kekurangan makan dan penyakit tropis. Angka yang diberikan bervariasi dari 20 hingga 60 ribu, belum termasuk 20 ribu pekerja tambang yang tewas. Daerah berpenduduk jarang ini masih merupakan rimba, rawa-rawa dan bukit-bukit, penuh dengan hewan buas. Ditambah dengan kerja keras dan ketiadaan obat-obatan, tidak kurang dari 500 romusha setiap harinya tewas, namun setiap harinya jumlah yang lebih besar direkrut untuk menjadi pekerja. Pada masa pembangunan jalur ini sekitar 25-55 ribu pekerja membangun jalur ini. Sejauh diketahui, tidak ada tawanan perang yang dipekerjakan untuk membangun jalur ini. Pada bulan Maret 1944 jalur telah siap, dan dibuka pada 1 April 1944 (tepat 61 tahun yang lalu!) oleh para pejabat Jepang. Lokomotif BB10.6 menarik kereta pertama di jalur ini.
Jalur ini berawal di stasiun Saketi, dan berakhir di Gunungmandur, letak tambang batu bara yang terjauh. Stasiun Gunungmandur terletak dua kilometer dari stasiun Bayah. Jalur sepur tunggal ini memiliki sembilan stasiun dan lima halte (yaitu Cimangu, Kaduhauk, Jalupang, Picung, Kerta, Gintung, Malingping, Cilangkahan, Sukahujan, Cihara, Panyawungan, Bayah dan Gunungmandur).
Masing-masing stasiun setidaknya memiliki dua jalur dan bangunan stasiun kecil; Bayah memiliki lima jalur. Selain stasiun Gunungmandur, tujuh stasiun yang lebih kecil dilengkapi dengan sinyal dengan handel kayu. Bayah menggunakan sinyal Alkmaar. Setiap harinya maksimum 300 ton batu bara muda dibawa ke Saketi. Selain batu bara, ada pula kereta api penumpang, namun karena daerah ini berpenduduk jarang, sebagian besar penumpang adalah pekerja kereta api atau pekerja tambang. Setiap harinya 800 penumpang bepergian, yang diangkut dengan 15 kereta kelas 3.
Jalur ini dibangun relatif lebih kokoh daripada jalur Pekanbaru, dengan 20 jembatan, semuanya dengan ujung-ujung dari batu. Untuk pembangunan jalur Banten Selatan ini digunakan material kereta api dari pabrik-pabrik gula yang ditutup dan lok tram PsSM No. 12 (B16). Setelah beroperasi, digunakan material SS dan lok BB10.
Share this Article on :
 
Design by Enda Alfaridzh